Aku suka malam. Apalagi
jika turun hujan! Meskipun nantinya teman-temanku tak akan muncul dan
menemaniku, para bintang yang mungil. Eh?! Kata siapa mereka mungil? Kalau dari
buku-buku fisikaku dulu, sebenarnya ukuran mereka besar, hanya saja karena
jaraknya yang terlalu jauh, jadilah kita melihatnya dalam ukuran yang sangat
kecil.
Dan malam ini, sama seperti malam-malamku yang lain. Aku duduk di jendela
kamarku, tepatnya dilantai dua. Dari sinilah aku bisa melihat sebagian besar
kompleks perumahan Citra Alam I. Rumah-rumah tetanggaku, taman, lapangan, dan
orang-orang yang lalu lalang. Tapi malam ini, hujan membuat mereka semua segera
mengunci pintu-pintu rumah mereka, entah apakah langsung berselimut tebal dan
terlelap atau …. Apalah yang mereka lakukan di dalam rumah mereka. Yang aku
tahu hanya, malam ini sunyi dan aku, Destia Harum, merindukan suasana ini.
Ku benahi posisi dudukku dan lebih bersandar pada pinggir jendela, tak lagi
kutatap langit yang gelap. Perlahan mataku terpejam. Rambutku sudah tak karuan
dibelai angin malam. Hujan malam ini sangat deras, tapi aku rasa ritmenya
sangat indah. Membuatku semakin larut.
Aku tersentak dari kehikmatanku ketika pintu kamarku diketuk orang. Sekilas
kulihat jam, hah! Sudah jam 2
malam ternyata….
“Des? tuh kan kamu
belum tidur!”
Kakakku satu-satunya
itu langsung membuka pintu dan berpose dengan tangannya bertolak pinggang.
“Iya kakakku
sayang….. aku tidur!”
Lekas ku loncat dari
jendela menuju tempat tidurku.
“Haaappf”
Hampir saja aku
terjatuh, tapi sejauh ini loncatanku selalu berhasil
“DESTIAAA!!”
Yah, hanya kata itu
saja yang selalu keluar darinya ketika aku melakukan kenakalan-kenakalan.
Tak ada kata tambahan lainnya, hanya terkadang nadanya saja yang berubah.
Bagiku, ia pengganti ibuku. Karena itulah aku sangat sayang padanya. Dan untuk
yang kesekian kalinya menjelang tidur aku berharap, dapat bermimpi bertemu
ibuku. Lalu ku nyalakan mp3 dan memasang headsetnya di telingaku. Mulai teralun
lagu yang selalu membuatku menangis sesugukan lalu tertidur lelap dengan
senyuman..
Oh Ibu… kini aku jauh darimu……Ingin
kuluruh dipangkuanmu……
Rengkuhlah aku dengan
doa malammu…..Semoga Dia membimbing langkahku….
***
Di rumah yang sederhana ini, kami hanya tinggal bertiga. Aku, mba Rina, dan mas
Rian. Aku mahasiswi baru di Kampus Biru, jurusan Psikologi Anak. Suami kakakku,
mas Rian, bekerja di perusahaan pertambangan. Dan mba Rani, kakakku kandungku,
mengajar di sekolah alam “Semut-Semut”. Pola pengajaran yang berbeda dari
sekolah-sekolah biasa itulah yang menginspirasikanku dalam memutuskan jurusan
yang kupilih.
Dan mungkin, ini pula lah salah satu alasan mengapa mas Rian dan mba Rani tetap
langgeng meski belum dikaruniai anak hingga usia pernikahan mereka hampir 8
tahun. Mba Rani tidak merasa kesepian karena naluri keibuannya ia curahkan pada
anak-anak ajarnya. Begitupun dengan mas Rian yang setia mengantar dan menjemput
mba Rani setiap hari. Kini kesabaran mereka telah berbuah, mba Rani telah
positif mengandung.
Aku memang periang, tapi aku juga suka menyendiri. Sering ku tatap lekat cermin
dan memarahi Destia dalam dunia lain itu,
“ Heh! Destia jelek,
kamu jelek tau kalo cemberut and BT gitu….!”
“ Memang kata siapa
kalau cemberut jadi cantik?”
Hehehe….. Aku geli
sendiri mendengar jawaban hati kecilku, setelah itu BT ku akan dengan segera
hilang.
***
“Des, besok bantu mba
ya, kamu nggak ada kuliah kan? Asisten mba cuti melahirkan, jadi sekarang mba handle satu kelas sendirian deh… huff.. ya?
Mba tambah deh uang jajannya, terus… nanti mba pasti jelasin disana kamu harus
bantu apa aja. Oke?? ” Pinta mba Rani katika aku baru saja dalam hitungan
beberapa detik yang lalu sampai di rumah.
“ Mba, bolehkah putri yang cantik ini duduk dan minum terlebih dahulu?” Jawabku
menggodanya
“ Dasar kamu tuh ya des… des…mba beneran butuh bantuanmu nih”
Ku ambil segelas air
dingin dari kulkas, lalu ku minum dengan sekali teguk, baru ku hampiri lagi
kakakku itu.
“Okeh!” jawabku singkat
“Makasi ya Des!!!”
Wajahnya langsung sumringah, tapi sekilas ku lihat sorot matanya agak aneh.
Seperti ada yang ia simpan. Huh! Kakakku yang satu ini memang selalu begitu.
Tapi kuharap, itu bukan hal yang besar,
“Mba, kalau, mba juga sudah melahirkan, nantinya apa mba masih akan bekerja?” ups! Pertanyaanku sepertinya membuatnya
kaget.
“ hmmm… emhmm..”
Cukup lama kutunggu
jawabannya, sehingga aku tahu dengan pasti bahwa ada keraguan dalam dirinya.
“Mba belum tahu Des, sekarang itu zamannya serba sulit, kalau mba berhenti
nanti penghasilan keluarga ini jadi berkurang, sedangkan anggota keluarga kita
bertambah kan. Hmmm.. tapi, mba juga enggak mau kalau anak mba nanti diasuh
orang lain”
Baru saja terlintas dibenakku bahwa sepertinya aku menjadi beban mereka,
terlebih setelah aku kuliah. Tapi dengan cepat mba Rani menegaskan
“Tapi kamu harus tetap kuliah, sampai lulus! Mba sama mas Rian sudah sepakat
soal itu, sesusah apapun kita nanti. Allah pasti kasih rezeki!”
“hm.. karena sudah janji sama ibu ya mba?” aku berkata sangat lirih, takut
menyinggungnya lagi.
Dia bangkit dari duduknya dan menghampiriku lebih dekat.
“Des… terlepas dari itu semua, kamu memang harus kuliah sampai lulus…. Harus
lebih baik dari mb!” Kali ini nadanya cukup lembut namun tegas.
“Sekarang cepatan kamu siap-siap, sebentar lagi acara pengajiannya sudah mau
mulai” ajaknya untuk mengalihkan pikiranku.
Dengan langkah gontai, kususuri tangga menuju kamar
***
“Ei, kau tahu apa
yang tadi ustazah bilang hari ini? ” Ku tatap mata itu dengan sangat lekat.
“Ustazah bilang dalam surat….. ehm… apa ya? Aku lupa. Yang pasti intinya
melarang kita berkata ‘ah’ pada ibu kita. Hah! Jangankan berkata ‘ah’, berkata
‘hai’ saja aku tak bisa!” Ku picingkan mataku melihat reaksinya.
“Bagaimana menurutmu? Mba Rani sudah seperti ibuku, apa berarti aku tidak boleh
berkata ‘ah’ padanya? Tapi kan dia tetap saja kakakku, bukan ibuku” Ku tatap ia
terus, tapi tak ada jawaban. Dan aku sedang bosan menunggu jawabannya, jadi
kutinggalkan diriku dalam cermin.
Tubuhku kujatuhkan bergitu saja di tempat tidur. Ku raba kantung sakuku. Hp ku
bergetar. Nama Zessy muncul di layar.
“Wa’alaikumussalam… ada apa zess?” Ku jawab salamnya dengan malas.
“Des, aku ada tawaran job nih, jadi moderator di acara seminar.
Temanya tentang mengungkap kedilemaan seorang ibu. Hayolah Des… mau ya ya ya….
Honornya lumayan lho! Terus salah satu pembicaranya itu ada mba Asma Nadia juga
loh, kapan lagi coba Des? Kesempatan emas nih…” Cerocos Zessy yang tidak
memberiku jeda untuk menjawab atau bertanya.
Selain itu, aku pun
entah kenapa jadi terpaku. Bukan, bukan karena ini kesempatan yang ku nantikan.
Tapi… kenapa mendengar kata-kata ‘ibu’ akhir-akhir ini selalu membuat hatiku
berdesir. Aku tidak suka rasa sesak ini.
“HALLOOOOOO!!! Destia
Harum mewangi sepanjang hari! Do you hear me?” Oow, teriakan Zessy membuat
telingaku sakit, lamunanku pun buyar.
“Denger bu.. denger
qo’…. Ehm.. kapan terakhir aku boleh kasih jawaban? Aku mau pikir-pikir dulu ya
Zes”
“Dua menit dari
sekarang.” Jawabnya singkat dan tegas
“What’s!!!!? Zes…
jangan gila donk… masa dua menit, dua hari gitu kek” Protesku tidak terima
“Waktu kamu untuk
berfikir sudah hampir tinggal satu setengah menit lagi loh… tinggal bilang iya
atau iya, gampang kan? Hehehe…” Oceh Zessy lagi dengan ringannya.
Pemaksaan ini
namanya. Tapi anehnya, tidak sampai satu menit, tiba-tiba dari bibirku terucap
kata ‘iya’. Dan teriakan senang Zessy terdengar lagi di telingaku, kali ini
lebih melengking. Setelah tidak ada lagi suara di sebrang sana –tanda telpon
berarti sudah ditutup- barulah aku kebingungan
“Haduuuuuh!!! Kenapa
bilang ‘iya’ ya?... Dasar Zessy!!!” gerutuku tak berdaya.
***
Alhasil, dalam
seminggu ini aku banyak membaca buku tentang ibu. Tapi itu semua malah
membuatku semakin gila. Hampir 19 tahun kukunci rapat semua rasa penasaran akan
asal-usulku. Aku hanya tahu satu hal, aku dan kakakku dibesarkan di Panti
Asuhan. Kami baru keluar dari panti itu ketika mas Rian melamar mba Rani. Just it! Bukannya aku tidak
pernah mau mencoba bertanya pada mba Rani, tapi setiap kali menanyakan hal itu
mukanya selalu langsung murung. Satu hal yang ku ingat, dia pernah dengan
sangat tegas berkata padaku
“Des, yang pasti
orang tua kita bukanlah orang tidak bertanggung jawab yang sengaja
menelantarkan anaknya!”
Setelah itu, aku tidak
pernah bertanya lagi dan di lubuk hatiku yang terdalam telah tertanam satu
kalimat ‘Orang tua ku orang yang baik’. Itu cukup bagiku untuk memiliki
keberanian menatap dunia dengan penuh harapan. Tidak seperti beberapa temanku
di panti dulu, mereka sangat membenci orang tua mereka ketika mereka tahu bahwa
mereka ditaruh begitu saja di depan panti. Dan kebanyakan dari mereka menjadi
anak yang nakal.
Tapi sekarang aku
sudah besar! Sampai kapan mba Rani mau menyimpannya sendiri. Entahlah…. bahkan
ibu panti pun tidak tahu cerita detailnya. Hanya kakakku seorang yang
memendamnya. Ku amati wajah kakakku yang sedang bersenda gurau dengan suaminya
di ruang televisi. Ahh…. Aku tidak tega membuatnya murung hanya karena
pertanyaan konyolku. Lagi pula ia sedang hamil tua. Dokter telah
memperingatkannya untuk tidak terlalu bepikir yang berat-berat. Kandungannya
agak lemah. Ia telah menantikan calon keponakanku itu lama sekali. Aku tidak
mau terjadi apa-apa dengan mereka, jadi ku urungkan niatku untuk bertanya.
“Robb… kalau boleh
aku memohon, Izinkan aku masih memiliki harapan….
Aku yakin rencana Mu
akan sangat indah. Dan aku tak mau mengurangi keindahannya hanya karena ketidak
sabaranku….
Bantu aku ya Robb…
Bantu aku untuk bisa
terus yakin akan takdir Mu yang manis”
***
Aula Auditorium utama
Kampus Biru telah dipenuhi oleh para peserta. Hiruk pikuk masih menggema. Acara
baru saja akan dimulai.
“Hai Des, sudah siap? Ck, salah nanya deh, kamu kan memang sudah jago jadi
moderator. Pasti sudah enggak canggung lagi donk! Ehm.. dialognya pasti bakal
seru banget, jadi ga sabar…”
Seperti biasa, Zessy datang dengan sebuah pertanyaan yang dijawab sendiri
olehnya. Seharusnya dia coba daftar jadi MC, biar tersalurkan deh tuh bakat
ngomongnya. Untuk kali ini, hanya senyuman yang dapat kuberikan sebagai
jawabannya.
Robb, kuatkan aku… -doaku lirih
“……, Dan dilema terbesar
seorang ibu adalah ketika ia sudah tua. Karena anak-anaknya yang sudah besar
akan memiliki kehidupan yang lain, mencari pengalaman, sekolah, bekerja,
mengurus keluarganya yang baru dan sebagainya. Hal tersebut tidak terelakkan.
Dan seorang ibu tidak mungkin mengekang anaknya untuk selalu disampingnya,
menemani hari-harinya, seperti ia menemani hari-hari anaknya ketika kecil.
Kecenderungan yang terjadi, seorang anak yang sudah mapan akan membalas jasa
dengan memenuhi kebutuhan orang tuanya berupa materi” Ulas mba Asma Nadia
Selesai para
pembicara mengulas dengan sudut pandang masing-masing, peserta pun mulai tidak
sabar untuk bertanya. Hampir ¾ peserta yang hadir mengacungkan tangan ketika
sessi pertanyaan dibuka. Satu per satu tanggapan dan pertanyaan yang terlontar
dari peserta membuatku dalam sekejap seperti tertimpa reruntuhan.
“Mba, apa seharusnya yang saya
pikirkan dan lakukan jika pada kenyataannya semenjak kecil saya tidak pernah
ditemani oleh ibu saya. Beliau sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan saya lebih
merasa pengasuh saya lah ibu saya”
“Mba, Kenapa kesan yang diangkat pada seorang ibu hanyalah penuh kasih
sayang, pengorbanan, kita harus berbakti, tidak boleh melawan dan lain-lainnya.
Tapi banyak kasus yang sama-sama telah kita ketahui, tidak sedikit dari mereka
yang menelantarkan anaknya bahkan tega membunuh anaknya”
“Mba, saya bersyukur kedua orang tua saya masih lengkap, ibu saya pun selalu
ada di rumah. Tapi perlakuannya sangat bertolak belakang dengan gambaran
seorang ibu yang penuh kasih sayang. Saya merasa tertekan ketika saya di rumah
dan sekarang saya telah memiliki kesibukan diluar yang menguras waktu, tenaga
dan pikiran saya. Sehingga sekarang saya jarang pulang bahkan malas pulang. Apa
saya salah melakukan hal itu?”
“Mba, saya telah mapan dan ingin sekali membalas jasa pada kedua orang tua
saya, terutama ibu saya. Saya sudah tidak lagi peduli kenapa mereka tidak
pernah mencari saya. Rasa marah itu telah luntur jika mengingat kehidupan
saya sekarang yang bahagia dengan suami dan anak-anak saya. Dan saya tahu, itu
tidak akan pernah saya rasakan jika mereka, orang tua saya, tidak berjuang dan
memberi saya kesempatan untuk hidup. Tapi sekarang, saya benar-benar tidak tahu
mereka dimana. Apa yang harus saya lakukan?”
……………………………………………………
Suara-suara itu semakin
samara-samar dalam pendengaranku, dadaku sesak, penglihatanku pun hampir kabur.
Segera ku minum juc yang telah disediakan di atas meja. Berusaha dengan keras
menenangkan diriku ketika para pembicara mulai menjawab satu per satu
pertanyaan mereka. Aku tidak sabar ingin mengakhiri dialog ini.
Sebagai moderator, aku masih tetap bisa memegang kendali dialog tersebut
meskipun aku sudah tidak kuat, tangisku bisa-bisa meledak…. Aku rindu sosok ibuku yang
sebenarnya…. Ingin
rasanya segera menghambur kepelukan mba Rani dan memohon padanya untuk
menceritakan apa yang selama ini ia simpan sendirian.
Dialog berakhir dengan tepuk tangan yang meriah. Zessy bilang acara kita
sukses. Peserta sangat appreciate.
Aku ikut senang, tapi pikiranku sudah tidak lagi ada di sini. Aku ingin
cepat-cepat pulang. Baru saja kulangkahkan kakiku keluar dari pintu ruang
panitia, Hp ku bergetar. Ku lihat pada layer, ternyata ada 5 misscall dari mas Rian dan sebuah sms yang baru
aja masuk. Dengan cepat kubaca,
“Des, mba mu sekarang ada di Rumah Sakit Harapan Kita. Kamu langsung ke sini
ya…Mba Rani sudah mau melahirkan”
Deg!! Seketika badanku kaku.
Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya aku bisa menggerakkan Hp ku dan
mencoba menelepon mas Rian. Tapi Nihil!! Tidak kunjung ada jawaban juga dari
mas Rian. Dengan tak berfikir panjang lagi, ku lalui teman-temanku yang
berusaha menyapa atau memanggilku. Sesampainya di depan jalan, langsung ku stop taksi. Tubuhku benar-benar lunglai
ketika aku telah bersandar pada tempat duduk. Aku tak tahan lagi….. air mata ku
mulai mengalir… pipiku panas. Aku tak mau berpikir akan terjadi hal yang buruk
pada kakak ku
Mba Rani, kandunganya baru tujuh
bulan. Terakhir hasil chek up, kandungannya sangat lemah…. Bagaimana ini Robbi….
Kali ini ku mohon… kuatkan kakakku…..
***
Aku salut pada mas
Rian. Lihatlah, ia sangat tenang, meski ku yakin ia sangat cemas. Ia hanya tak
mau membuatku semakin tak karuan. Ditenangkannya diriku menuju taman rumah
sakit. Karena ketika ku datang, tak ada kata yang bisa kuluar dari bibirku,
hanya sisa isak tangis.
“Des, mba mu akan baik-baik saja. Percayalah…. Tadi sebelum masuk ruang
operasi, Rani minta mas untuk menceritakan apa yang selama ini ingin kamu
ketahui” Mas Rian menarik napas dalam sebelum melanjutkan ceritanya.
Sebenarnya, dibenakku sekarang adalah keadaan mba Rani, keselamatannya dan
keponakanku lebih utama.
“Mba Rani minta maaf, selama ini ia tidak sanggup menceritakannya karena rasa
bersalahnya yang sangat besar, pada keluargamu” Mas Rian sengaja menghentikan
kata-katanya untuk melihat reaksiku. Dan ia tahu dengan pasti aku tidak
mengerti mengapa ia bilang ‘keluargaku’, bukankah keluargaku keluarga mba Rani
juga?
“Kedua orang tua mu dulu sama seperti kami, sulit mendapat anak. Dan mereka
mengadopsi Rani. Dulu Rani sangat nakal, saking sayangnya ibumu padanya, ia tak
pernah marah meski Rani sering membentaknya. Hingga akhirnya setelah sebelas
tahun, kau baru akan hadir ditengah mereka. Dan kenakalan Rani semakin menjadi.
Rani dipenuhi rasa cemburu, ia takut orang tua mu tidak sayang lagi padanya,
karena ia sadar ia bukan anak kandung mereka. Bahkan Rani pernah berharap kau
tidak akan pernah terlahir” Mas Rian mulai menurunkan nada bicaranya…. Sangat
lembut
“Dan ketika umur kandungan ibumu telah tujuh bulan, Rani, ibu, dan ayahmu pergi
ke Sukabumi. Dan....ehm….mereka kecelakaan. Ayahmu terlempar keluar dari mobil
dan langsung meninggal seketika. Ibumu dan Rani terjebak dalam mobil. Hebatnya,
Ibumu berusaha mengeluarkan Rani dari dalam mobil meski ia dalam keadaan
pendarahan. Warga langsung membawa mereka ke rumah sakit terdekat” Mas Rian
membalikkan wajahnya menghadapku, menatapku lekat
“Rani hanya luka-luka saja. Tapi ibumu, kau mau tahu Des, dokter memberi
pilihan pada ibumu. Hanya satu dari mereka yang bisa diselamatkan, ibumu atau
kau. Dan… Ibumu dengan sangat yakin memutuskan dirimu yang harus diutamakan
keselamatannya. Rani menagis sejadi-jadinya, Ibumu akan meninggalkannya dan
memilihmu, bukan memilih untuk menemaninya hidup. Sebelum operasi, Ibumu
memohon pada dokter untuk memperbolehkannya berbicara pada Rani” Tubuhku
bergentar, ku genggam erat kursiku.. kututupi wajahku dengan jilbabku yang
sudah basah.
“Ran… Ibu mohon maaf dengan
sangat.. Ibu sayang padamu, percayalah…. Jaga adikmu dengan baik ya…
karena ibu percaya sama Rani… didalam dirinya ada ibu, ada ayah…. Jadi kami
tidak pernah meninggalkanmu… Berjanjilah… dan peluk Ibumu ini, aku ibumu, meski
kau bukan darah dagingku, aku adalah ibumu Rani…”
***
Aku suka malam. Tapi
kali tidak kuhabiskan waktu malamku dengan bertengger dijendela. Adikku sayang
menantiku untuk menemaninya… Bercerita tentang betapa hebat ibunya. Ya, Mba
Rani mengambil keputusan yang sama dengan Ibuku. Aku tahu mas Rian menangis saat
menandatangi surat persetujuan untuk lebih mengutamakan anaknya, permintaan mba
Rani yang sangat berat baginya. Setelah itu, mas Rian menyodorkan Hp mba Rani
padaku, mununjukkan pesan dalam draf yang belum
dikirimkan,
“Des, tolong ajarkan
padanya nanti untuk mendoakanku… Doa anak yang soleh, doanya akan sangat
membantuku ketika ku harus bertanggungjawab atas kesalahanku pada IBU KITA..
Aku mohon…”
***
Ibu lihatlah, anakmu
ini tumbuh karena keikhlasanmu…. Kesabaran penantianmu….. Meski terkadang
akupun ingin merasakan pelukanmu, tapi pengorbananmu sudah cukup membuatku kuat
menghadapi hidup ini…
Ibu, kapan kita semua
akan bertemu??, Aku rindu kalian semua,,
Bogor, 21-22 Mei 2009
9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
And how about you dear....?