Pages

26 Feb 2012

Ibu "kita"




Aku suka malam. Apalagi jika turun hujan! Meskipun nantinya teman-temanku tak akan muncul dan menemaniku, para bintang yang mungil. Eh?! Kata siapa mereka mungil? Kalau dari buku-buku fisikaku dulu, sebenarnya ukuran mereka besar, hanya saja karena jaraknya yang terlalu jauh, jadilah kita melihatnya dalam ukuran yang sangat kecil.
            Dan malam ini, sama seperti malam-malamku yang lain. Aku duduk di jendela kamarku, tepatnya dilantai dua. Dari sinilah aku bisa melihat sebagian besar kompleks perumahan Citra Alam I. Rumah-rumah tetanggaku, taman, lapangan, dan orang-orang yang lalu lalang. Tapi malam ini, hujan membuat mereka semua segera mengunci pintu-pintu rumah mereka, entah apakah langsung berselimut tebal dan terlelap atau …. Apalah yang mereka lakukan di dalam rumah mereka. Yang aku tahu hanya, malam ini sunyi dan aku, Destia Harum, merindukan suasana ini.
            Ku benahi posisi dudukku dan lebih bersandar pada pinggir jendela, tak lagi kutatap langit yang gelap. Perlahan mataku terpejam. Rambutku sudah tak karuan dibelai angin malam. Hujan malam ini sangat deras, tapi aku rasa ritmenya sangat indah. Membuatku semakin larut.
            Aku tersentak dari kehikmatanku ketika pintu kamarku diketuk orang. Sekilas kulihat jam, hah! Sudah jam 2 malam ternyata….
“Des? tuh kan kamu belum tidur!”
Kakakku satu-satunya itu langsung membuka pintu dan berpose dengan tangannya bertolak pinggang.
“Iya kakakku sayang….. aku tidur!”
Lekas ku loncat dari jendela menuju tempat tidurku.
“Haaappf”
Hampir saja aku terjatuh, tapi sejauh ini loncatanku selalu berhasil
“DESTIAAA!!”
Yah, hanya kata itu saja yang selalu keluar darinya ketika aku melakukan kenakalan-kenakalan. Tak  ada kata tambahan lainnya, hanya terkadang nadanya saja yang berubah.
            Bagiku, ia pengganti ibuku. Karena itulah aku sangat sayang padanya. Dan untuk yang kesekian kalinya menjelang tidur aku berharap, dapat bermimpi bertemu ibuku. Lalu ku nyalakan mp3 dan memasang headsetnya di telingaku. Mulai teralun lagu yang selalu membuatku menangis sesugukan lalu tertidur lelap dengan senyuman..
            Oh Ibu… kini aku jauh darimu……Ingin kuluruh dipangkuanmu……
Rengkuhlah aku dengan doa malammu…..Semoga Dia membimbing langkahku….
***

            Di rumah yang sederhana ini, kami hanya tinggal bertiga. Aku, mba Rina, dan mas Rian. Aku mahasiswi baru di Kampus Biru, jurusan Psikologi Anak. Suami kakakku, mas Rian, bekerja di perusahaan pertambangan. Dan mba Rani, kakakku kandungku, mengajar di sekolah alam “Semut-Semut”. Pola pengajaran yang berbeda dari sekolah-sekolah biasa itulah yang menginspirasikanku dalam memutuskan jurusan yang kupilih.
            Dan mungkin, ini pula lah salah satu alasan mengapa mas Rian dan mba Rani tetap langgeng meski belum dikaruniai anak hingga usia pernikahan mereka hampir 8 tahun. Mba Rani tidak merasa kesepian karena naluri keibuannya ia curahkan pada anak-anak ajarnya. Begitupun dengan mas Rian yang setia mengantar dan menjemput mba Rani setiap hari. Kini kesabaran mereka telah berbuah, mba Rani telah positif mengandung.
            Aku memang periang, tapi aku juga suka menyendiri. Sering ku tatap lekat cermin dan memarahi Destia dalam dunia lain itu,
“ Heh! Destia jelek, kamu jelek tau kalo cemberut and BT gitu….!”
“ Memang kata siapa kalau cemberut jadi cantik?”
Hehehe….. Aku geli sendiri mendengar jawaban hati kecilku, setelah itu BT ku akan dengan segera hilang.
***
           
“Des, besok bantu mba ya, kamu nggak ada kuliah kan? Asisten mba cuti melahirkan, jadi sekarang mba handle satu kelas sendirian deh… huff.. ya? Mba tambah deh uang jajannya, terus… nanti mba pasti jelasin disana kamu harus bantu apa aja. Oke?? ” Pinta mba Rani katika aku baru saja dalam hitungan beberapa detik yang lalu sampai di rumah.
            “ Mba, bolehkah putri yang cantik ini duduk dan minum terlebih dahulu?” Jawabku menggodanya
            “ Dasar kamu tuh ya des… des…mba beneran butuh bantuanmu nih”
Ku ambil segelas air dingin dari kulkas, lalu ku minum dengan sekali teguk, baru ku hampiri lagi kakakku itu.
            “Okeh!” jawabku singkat
            “Makasi ya Des!!!”
            Wajahnya langsung sumringah, tapi sekilas ku lihat sorot matanya agak aneh. Seperti ada yang ia simpan. Huh! Kakakku yang satu ini memang selalu begitu. Tapi kuharap, itu bukan hal yang besar,
            “Mba, kalau, mba juga sudah melahirkan, nantinya apa mba masih akan bekerja?” ups! Pertanyaanku sepertinya membuatnya kaget.
            “ hmmm… emhmm..”
Cukup lama kutunggu jawabannya, sehingga aku tahu dengan pasti bahwa ada keraguan dalam dirinya.
            “Mba belum tahu Des, sekarang itu zamannya serba sulit, kalau mba berhenti nanti penghasilan keluarga ini jadi berkurang, sedangkan anggota keluarga kita bertambah kan. Hmmm.. tapi, mba juga enggak mau kalau anak mba nanti diasuh orang lain”
            Baru saja terlintas dibenakku bahwa sepertinya aku menjadi beban mereka, terlebih setelah aku kuliah. Tapi dengan cepat mba Rani menegaskan
            “Tapi kamu harus tetap kuliah, sampai lulus! Mba sama mas Rian sudah sepakat soal itu, sesusah apapun kita nanti. Allah pasti kasih rezeki!”
            “hm.. karena sudah janji sama ibu ya mba?” aku berkata sangat lirih, takut menyinggungnya lagi.
            Dia bangkit dari duduknya dan menghampiriku lebih dekat.
            “Des… terlepas dari itu semua, kamu memang harus kuliah sampai lulus…. Harus lebih baik dari mb!” Kali ini nadanya cukup lembut namun tegas.
            “Sekarang cepatan kamu siap-siap, sebentar lagi acara pengajiannya sudah mau mulai” ajaknya untuk mengalihkan pikiranku.
            Dengan langkah gontai, kususuri tangga menuju kamar
***
           
“Ei, kau tahu apa yang tadi ustazah bilang hari ini? ” Ku tatap mata itu dengan sangat lekat.
            “Ustazah bilang dalam surat….. ehm… apa ya? Aku lupa. Yang pasti intinya melarang kita berkata ‘ah’ pada ibu kita. Hah! Jangankan berkata ‘ah’, berkata ‘hai’ saja aku tak bisa!” Ku picingkan mataku melihat reaksinya.
            “Bagaimana menurutmu? Mba Rani sudah seperti ibuku, apa berarti aku tidak boleh berkata ‘ah’ padanya? Tapi kan dia tetap saja kakakku, bukan ibuku” Ku tatap ia terus, tapi tak ada jawaban. Dan aku sedang bosan menunggu jawabannya, jadi kutinggalkan diriku dalam cermin.
            Tubuhku kujatuhkan bergitu saja di tempat tidur. Ku raba kantung sakuku. Hp ku bergetar. Nama Zessy muncul di layar.
            “Wa’alaikumussalam… ada apa zess?” Ku jawab salamnya dengan malas.
            “Des, aku ada tawaran job nih, jadi moderator di acara seminar. Temanya tentang mengungkap kedilemaan seorang ibu. Hayolah Des… mau ya ya ya…. Honornya lumayan lho! Terus salah satu pembicaranya itu ada mba Asma Nadia juga loh, kapan lagi coba Des? Kesempatan emas nih…” Cerocos Zessy yang tidak memberiku jeda untuk menjawab atau bertanya.
Selain itu, aku pun entah kenapa jadi terpaku. Bukan, bukan karena ini kesempatan yang ku nantikan. Tapi… kenapa mendengar kata-kata ‘ibu’ akhir-akhir ini selalu membuat hatiku berdesir. Aku tidak suka rasa sesak ini.
“HALLOOOOOO!!! Destia Harum mewangi sepanjang hari! Do you hear me?” Oow, teriakan Zessy membuat telingaku sakit, lamunanku pun buyar.
“Denger bu.. denger qo’…. Ehm.. kapan terakhir aku boleh kasih jawaban? Aku mau pikir-pikir dulu ya Zes”
“Dua menit dari sekarang.” Jawabnya singkat dan tegas
“What’s!!!!? Zes… jangan gila donk… masa dua menit, dua hari gitu kek” Protesku tidak terima
“Waktu kamu untuk berfikir sudah hampir tinggal satu setengah menit lagi loh… tinggal bilang iya atau iya, gampang kan? Hehehe…” Oceh Zessy lagi dengan ringannya.
Pemaksaan ini namanya. Tapi anehnya, tidak sampai satu menit, tiba-tiba dari bibirku terucap kata ‘iya’. Dan teriakan senang Zessy terdengar lagi di telingaku, kali ini lebih melengking. Setelah tidak ada lagi suara di sebrang sana –tanda telpon berarti sudah ditutup- barulah aku kebingungan
“Haduuuuuh!!! Kenapa bilang ‘iya’ ya?... Dasar Zessy!!!” gerutuku tak berdaya.
***
Alhasil, dalam seminggu ini aku banyak membaca buku tentang ibu. Tapi itu semua malah membuatku semakin gila. Hampir 19 tahun kukunci rapat semua rasa penasaran akan asal-usulku. Aku hanya tahu satu hal, aku dan kakakku dibesarkan di Panti Asuhan. Kami baru keluar dari panti itu ketika mas Rian melamar mba Rani. Just it! Bukannya aku tidak pernah mau mencoba bertanya pada mba Rani, tapi setiap kali menanyakan hal itu mukanya selalu langsung murung. Satu hal yang ku ingat, dia pernah dengan sangat tegas berkata padaku
“Des, yang pasti orang tua kita bukanlah orang tidak bertanggung jawab yang sengaja menelantarkan anaknya!”
Setelah itu, aku tidak pernah bertanya lagi dan di lubuk hatiku yang terdalam telah tertanam satu kalimat ‘Orang tua ku orang yang baik’. Itu cukup bagiku untuk memiliki keberanian menatap dunia dengan penuh harapan. Tidak seperti beberapa temanku di panti dulu, mereka sangat membenci orang tua mereka ketika mereka tahu bahwa mereka ditaruh begitu saja di depan panti. Dan kebanyakan dari mereka menjadi anak yang nakal.
Tapi sekarang aku sudah besar! Sampai kapan mba Rani mau menyimpannya sendiri. Entahlah…. bahkan ibu panti pun tidak tahu cerita detailnya. Hanya kakakku seorang yang memendamnya. Ku amati wajah kakakku yang sedang bersenda gurau dengan suaminya di ruang televisi. Ahh…. Aku tidak tega membuatnya murung hanya karena pertanyaan konyolku. Lagi pula ia sedang hamil tua. Dokter telah memperingatkannya untuk tidak terlalu bepikir yang berat-berat. Kandungannya agak lemah. Ia telah menantikan calon keponakanku itu lama sekali. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan mereka, jadi ku urungkan niatku untuk bertanya.
Robb… kalau boleh aku memohon, Izinkan aku masih memiliki harapan….
Aku yakin rencana Mu akan sangat indah. Dan aku tak mau mengurangi keindahannya hanya karena ketidak sabaranku….
Bantu aku ya Robb…
Bantu aku untuk bisa terus yakin akan takdir Mu yang manis
***
           
Aula Auditorium utama Kampus Biru telah dipenuhi oleh para peserta. Hiruk pikuk masih menggema. Acara baru saja akan dimulai.
            “Hai Des, sudah siap? Ck, salah nanya deh, kamu kan memang sudah jago jadi moderator. Pasti sudah enggak canggung lagi donk! Ehm.. dialognya pasti bakal seru banget, jadi ga sabar…”
            Seperti biasa, Zessy datang dengan sebuah pertanyaan yang dijawab sendiri olehnya. Seharusnya dia coba daftar jadi MC, biar tersalurkan deh tuh bakat ngomongnya. Untuk kali ini, hanya senyuman yang dapat kuberikan sebagai jawabannya.
Robb, kuatkan aku… -doaku lirih

“……, Dan dilema terbesar seorang ibu adalah ketika ia sudah tua. Karena anak-anaknya yang sudah besar akan memiliki kehidupan  yang lain, mencari pengalaman, sekolah, bekerja, mengurus keluarganya yang baru dan sebagainya. Hal tersebut tidak terelakkan. Dan seorang ibu tidak mungkin mengekang anaknya untuk selalu disampingnya, menemani hari-harinya, seperti ia menemani hari-hari anaknya ketika kecil. Kecenderungan yang terjadi, seorang anak yang sudah mapan akan membalas jasa dengan memenuhi kebutuhan orang tuanya berupa materi” Ulas mba Asma Nadia
Selesai para pembicara mengulas dengan sudut pandang masing-masing, peserta pun mulai tidak sabar untuk bertanya. Hampir ¾ peserta yang hadir mengacungkan tangan ketika sessi pertanyaan dibuka. Satu per satu tanggapan dan pertanyaan yang terlontar dari peserta membuatku dalam sekejap seperti tertimpa reruntuhan.

            “Mba, apa seharusnya yang saya pikirkan dan lakukan jika pada kenyataannya semenjak kecil saya tidak pernah ditemani oleh ibu saya. Beliau sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan saya lebih merasa pengasuh saya lah ibu saya”
            “Mba, Kenapa kesan yang diangkat pada seorang ibu  hanyalah penuh kasih sayang, pengorbanan, kita harus berbakti, tidak boleh melawan dan lain-lainnya. Tapi banyak kasus yang sama-sama telah kita ketahui, tidak sedikit dari mereka yang menelantarkan anaknya bahkan tega membunuh anaknya”
            “Mba, saya bersyukur kedua orang tua saya masih lengkap, ibu saya pun selalu ada di rumah. Tapi perlakuannya sangat bertolak belakang dengan gambaran seorang ibu yang penuh kasih sayang. Saya merasa tertekan ketika saya di rumah dan sekarang saya telah memiliki kesibukan diluar yang menguras waktu, tenaga dan pikiran saya. Sehingga sekarang saya jarang pulang bahkan malas pulang. Apa saya salah melakukan hal itu?”
            “Mba, saya telah mapan dan ingin sekali membalas jasa pada kedua orang tua saya, terutama ibu saya. Saya sudah tidak lagi peduli kenapa mereka tidak pernah mencari  saya. Rasa marah itu telah luntur jika mengingat kehidupan saya sekarang yang bahagia dengan suami dan anak-anak saya. Dan saya tahu, itu tidak akan pernah saya rasakan jika mereka, orang tua saya, tidak berjuang dan memberi saya kesempatan untuk hidup. Tapi sekarang, saya benar-benar tidak tahu mereka dimana. Apa yang harus saya lakukan?”
……………………………………………………
            Suara-suara itu semakin samara-samar dalam pendengaranku, dadaku sesak, penglihatanku pun hampir kabur. Segera ku minum juc yang telah disediakan di atas meja. Berusaha dengan keras menenangkan diriku ketika para pembicara mulai menjawab satu per satu pertanyaan mereka. Aku tidak sabar ingin mengakhiri dialog ini.
            Sebagai moderator, aku masih tetap bisa memegang kendali dialog tersebut meskipun aku sudah tidak kuat, tangisku bisa-bisa meledak…. Aku rindu sosok ibuku yang sebenarnya….  Ingin rasanya segera menghambur kepelukan mba Rani dan memohon padanya untuk menceritakan apa yang selama ini ia simpan sendirian.
            Dialog berakhir dengan tepuk tangan yang meriah. Zessy bilang acara kita sukses. Peserta sangat appreciate. Aku ikut senang, tapi pikiranku sudah tidak lagi ada di sini. Aku ingin cepat-cepat pulang. Baru saja kulangkahkan kakiku keluar dari pintu ruang panitia, Hp ku bergetar. Ku lihat pada layer, ternyata ada 5 misscall dari mas Rian dan sebuah sms yang baru aja masuk. Dengan cepat kubaca,
            “Des, mba mu sekarang ada di Rumah Sakit Harapan Kita. Kamu langsung ke sini ya…Mba Rani sudah mau melahirkan”
            Deg!! Seketika badanku kaku. Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya aku bisa menggerakkan Hp ku dan mencoba menelepon mas Rian. Tapi Nihil!! Tidak kunjung ada jawaban juga dari mas Rian. Dengan tak berfikir panjang lagi, ku lalui teman-temanku yang berusaha menyapa atau memanggilku. Sesampainya di depan jalan, langsung ku stop taksi. Tubuhku benar-benar lunglai ketika aku telah bersandar pada tempat duduk. Aku tak tahan lagi….. air mata ku mulai mengalir… pipiku panas. Aku tak mau berpikir akan terjadi hal yang buruk pada kakak ku
            Mba Rani, kandunganya baru tujuh bulan. Terakhir hasil chek up, kandungannya sangat lemah…. Bagaimana ini Robbi…. Kali ini ku mohon… kuatkan kakakku…..
***
           
Aku salut pada mas Rian. Lihatlah, ia sangat tenang, meski ku yakin ia sangat cemas. Ia hanya tak mau membuatku semakin tak karuan. Ditenangkannya diriku menuju taman rumah sakit. Karena ketika ku datang, tak ada kata yang bisa kuluar dari bibirku, hanya sisa isak tangis.
            “Des, mba mu akan baik-baik saja. Percayalah…. Tadi sebelum masuk ruang operasi, Rani minta mas untuk menceritakan apa yang selama ini ingin kamu ketahui” Mas Rian menarik napas dalam sebelum melanjutkan ceritanya. Sebenarnya, dibenakku sekarang adalah keadaan mba Rani, keselamatannya dan keponakanku lebih utama.
            “Mba Rani minta maaf, selama ini ia tidak sanggup menceritakannya karena rasa bersalahnya yang sangat besar, pada keluargamu” Mas Rian sengaja menghentikan kata-katanya untuk melihat reaksiku. Dan ia tahu dengan pasti aku tidak mengerti mengapa ia bilang ‘keluargaku’, bukankah keluargaku keluarga mba Rani juga?
            “Kedua orang tua mu dulu sama seperti kami, sulit mendapat anak. Dan mereka mengadopsi Rani. Dulu Rani sangat nakal, saking sayangnya ibumu padanya, ia tak pernah marah meski Rani sering membentaknya. Hingga akhirnya setelah sebelas tahun, kau baru akan hadir ditengah mereka. Dan kenakalan Rani semakin menjadi. Rani dipenuhi rasa cemburu, ia takut orang tua mu tidak sayang lagi padanya, karena ia sadar ia bukan anak kandung mereka. Bahkan Rani pernah berharap kau tidak akan pernah terlahir” Mas Rian mulai menurunkan nada bicaranya…. Sangat lembut
            “Dan ketika umur kandungan ibumu telah tujuh bulan, Rani, ibu, dan ayahmu pergi ke Sukabumi. Dan....ehm….mereka kecelakaan. Ayahmu terlempar keluar dari mobil dan langsung meninggal seketika. Ibumu dan Rani terjebak dalam mobil. Hebatnya, Ibumu berusaha mengeluarkan Rani dari dalam mobil meski ia dalam keadaan pendarahan. Warga langsung membawa mereka ke rumah sakit terdekat” Mas Rian membalikkan wajahnya menghadapku, menatapku lekat
            “Rani hanya luka-luka saja. Tapi ibumu, kau mau tahu Des, dokter memberi pilihan pada ibumu. Hanya satu dari mereka yang bisa diselamatkan, ibumu atau kau. Dan… Ibumu dengan sangat yakin memutuskan dirimu yang harus diutamakan keselamatannya. Rani menagis sejadi-jadinya, Ibumu akan meninggalkannya dan memilihmu, bukan memilih untuk menemaninya hidup. Sebelum operasi, Ibumu memohon pada dokter untuk memperbolehkannya berbicara pada Rani” Tubuhku bergentar, ku genggam erat kursiku.. kututupi wajahku dengan jilbabku yang sudah basah.
            “Ran… Ibu mohon maaf dengan sangat.. Ibu sayang padamu, percayalah….  Jaga adikmu dengan baik ya… karena ibu percaya sama Rani… didalam dirinya ada ibu, ada ayah…. Jadi kami tidak pernah meninggalkanmu… Berjanjilah… dan peluk Ibumu ini, aku ibumu, meski kau bukan darah dagingku, aku adalah ibumu Rani…”
***
           
Aku suka malam. Tapi kali tidak kuhabiskan waktu malamku dengan bertengger dijendela. Adikku sayang menantiku untuk menemaninya… Bercerita tentang betapa hebat ibunya. Ya, Mba Rani mengambil keputusan yang sama dengan Ibuku. Aku tahu mas Rian menangis saat menandatangi surat persetujuan untuk lebih mengutamakan anaknya, permintaan mba Rani yang sangat berat baginya. Setelah itu, mas Rian menyodorkan Hp mba Rani padaku, mununjukkan pesan dalam draf yang belum dikirimkan,        
“Des, tolong ajarkan padanya nanti untuk mendoakanku… Doa anak yang soleh, doanya akan sangat membantuku ketika ku harus bertanggungjawab atas kesalahanku pada IBU KITA.. Aku mohon…”
***
           
Ibu lihatlah, anakmu ini tumbuh karena keikhlasanmu…. Kesabaran penantianmu….. Meski terkadang akupun ingin merasakan pelukanmu, tapi pengorbananmu sudah cukup membuatku kuat menghadapi hidup ini…
Ibu, kapan kita semua akan bertemu??, Aku rindu kalian semua,,


Bogor, 21-22 Mei 2009

9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

And how about you dear....?